Semangat Terakhir untuk Sahabat Selamanya
(Sebuah karya Rizki Dwi Wahyu K.)
Langit masih gelap dengan bintang-bintangnya yang bersinar terang. Namun sayang bulan tak bersama mereka. Masih terlalu dini untuk bangun dari tidur malamku. Namun, agamaku, islam mengajarkan umatnya untuk bangun di malam hari, terutama sepertiga malam terakhir untuk mendirikan sholat. Pada waktu itu juga kadar ozon di udara tinggi dan sangat baik bagi kesehatan manusia. Aku juga dapat merasakan manfaat lainnya dimana aku dapat berpikir lebih jernih sejernih air yang tak terkontaminasi sedikitpun oleh logam-logam dimana bulan yang selalu bersemayam di atas sana dapat dilihat dari permukaan air itu.
Aku duduk di teras rumah. Aku lihat sekelilingku. Tanaman hias kesayangan mamaku berjejer rapi di rak kayu yang terletak tepat di hadapanku. Adenium yang bermahkotakan api menyala seolah menantangku. Namun aku dapat merasakan kecantikannya. Dini hari ini begitu sempurna apalagi langit gelap yang tak berawan dan angin dingin yang berhembus pelan. Aku seolah telah menyatu dengan alam hingga aku lupa bahwa hari ini adalah awal aku memulai kehidupan yang baru.
Sudah tiga bulan berlalu aku dinyatakan lulus SMA. Setelah melewati banyak ujian akhirnya aku dinyatakan lulus dengan peringkat baik pula. Aku juga mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Turki, negara dengan peninggalan sejarah islam yang terbesar. Aku cukup bangga dengan usahaku selama ini. Tidak sia-sia aku mengurangi jam tidurku untuk belajar. Di saat berjuta-juta siswa dan siswi sedang tidur nyenyak di tengah malam, aku masih berkutat dengan buku-buku pelajaran SMA.
Cukup lama aku duduk di teras untuk merenung. Aku kemudian kembali ke kamarku. Kamar yang berukuran empat kali lima meter dengan tembok bercatkan warna ungu muda dan dipenuhi dengan barang-barang yang berserakan seolah kamar ini telah dijarah maling habis-habisan.
Semalaman aku dan mamaku mempersiapkan apa-apa yang perlu aku bawa ke Turki. Mamaku sangat semangat membantuku. Namun aku tahu bahwa beliau sedang menyembunyikan perasaan sedihnya yang mendalam karena perpisahan yang tinggal beberapa jam lagi. Namun beliau tak pernah menunjukkan rasa sedihnya. Beliau sungguh semakin tegar setelah banyak sekali cobaan yang beliau dapatkan. Setelah papa tercintaku meninggal karena kecelakaan, setelah kakek, ayah tercinta mamaku meninggal karena penyakit livernya dan setelah adikku yang masih kecil mengalami kecelakaan sepeda motor ketika pulang dari sekolah.
Mamaku terlelap di atas kasur yang ditemani buku-buku yang berantakan di samping kanan-kirinya seolah mereka adalah penjaga tidur beliau. Aku tatap wajahnya lekat-lekat. Tak sadar aku meneteskan air mata. Perpisahan ini begitu menyakitkan namun ini adalah pilihanku. Semua ini aku lakukan demi kebaikan diriku maupun keluargaku.
Cepat-cepat aku hapus air mataku. Aku takut mamaku melihat aku menangis dan pasti akan merasa lebih berat untuk melepaskan aku terbang ke turki nantinya. Lalu aku membangunkannya.
“Ma, bangun. Sudah subuh. Sholat dulu, ma.”
Cepat-cepat mamaku bangun dan mengusap kedua matanya. Ditatapnya wajahku sebentar, kemudian melihat jam dinding.
“Barang-barangmu sudah mama kemas semua, Reno. Ada lagi yang mau mama bantu?”
“Sudah cukup, ma. Sisanya biar Reno aja yang urusin. Mama sudah banyak membantu Reno. Thanks ya ma.”
Mamaku meninggalkan kamarku, pergi mengambil air wudhu dan sholat subuh.
Aku kembali mengamati sekeliling kamarku. Kamar ini takkan pernah aku lupakan. Bantal boneka smiley pemberian sahabatku, komputer bobrok yang telah membantuku berjuang mengerjakan tugas-tugas sekolah yang tidak ada habisnya dan selimut teddy bear warna pink kesayanganku. Ingin rasanya membawa semua barang-barang ini. Namun sayang kopor-koporku sudah penuh dan terlalu berat untuk dibawa aku yang bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi.
“Reno, sebelum berangkat nanti, rapikan dulu kamarnya. Kasihan si mbok.” Terdengar suara mamaku dari dapur.
“Oke, ma!”
Aku cabut charger hapeku yang telah semalaman aku gunakan. Lalu Aku aktifkan sony ericsson jalou pemberian kakak perempuanku itu.
10 pesan diterima. Semua pesan-pesan yang masuk adalah dari teman-temanku. Belakangan ini mereka sering mengirimi aku sms yang tidak jelas. Setiap pesan yang mereka kirim pasti selalu minta untuk hati-hati disana dan jangan lupa untuk membawa oleh-oleh kalau pulang kampung. Dasar teman yang ada maunya kalau perhatian kaya gini.
Aku baca kembali sms-sms yang masuk. Seperti orang gila aku. Tersenyum-senyum sendiri. Namun, tak ada satupun sms yang masuk dari sahabatku, Mansa Ahad.
Sudah tiga bulan ini, semenjak perpisahan yang diadakan oleh sekolahku dia menghilang begitu saja. Tak ada kabar tentang dia. Berkali-kali aku mencoba menghubungi dia. Tapi tak ada satupun nomor yang ia miliki aktif. Email pun ia tak membalas. Bahkan account facebook yang ia miliki sepertinya sudah deactivate.
Sungguh menyebalkan sahabatku yang satu itu. Padahal beberapa jam lagi aku akan meninggalkan Indonesia. Tapi kenapa dia belum muncul juga.
Sedikit ragu aku ingin menghubunginya lagi. Tapi aku coba untuk yang terakhir kali. Tidak yakin. Jari-jariku mengetikkan beberap kata . “Man, where are you? Less than 9 hours I’ll leave Indonesia. I’m waiting for you, bro. I wish you still remember about our promise. I need your reply indeed.”
Dadaku terasa begitu sesak. Sakit mengingat si Mansa. Apalagi sudah lebih dari 3 tahun kita bersahabat. Tapi kenapa akhirnya seperti ini?
Aku berbaring di atas kasur. Aku benamkan kepalaku ke dalam bantal dan mulai berpikir negatif tentang dia. Mulai mengira-ngira dimana sekarang dia berada, keadaan dia dan alas an dia menghilang tanpa jejak.
Lama aku berfikir. Apa jangan-jangan sahabatku, Mansa Ahad sudah meninggal? Apalagi mengingat dia sedang sakit. Seketika aku benar-benar putus asa. Aku takut kalau apa yang aku kira sebelumnya ini benar-benar terjadi.
Kalau ini memang terjadi tapi mengapa pihak keluarganya tak satu pun menghubungiku? Mengapa teman-temanku juga tidak menghubungiku? Apakah selama ini mereka bekerja sama untuk tidak memberitahukan apa yang terjadi dengan sahabatku itu. Apakah Mansa tidak ingin aku mengetahui tentang kematiannya?
Beribu-ribu pertanyaan menghantuiku. Pertanyaan-pertanyaan yang menurunkan semangatku. Pertanyaan-pertanyaan yang membuatku putus asa.
###########
“Reno! Reno, bangun. Sarapan dulu.”
Mamaku membangunkanku. Namun aku tidak menjawab. Aku masih bertahan membenamkan kepalaku. Aku tidak ingin mamaku tahu bahwa aku sedih.
“Reno, bangun sayang. Sarapan terus mandi.”
aku tak enak hati jika tidak menjawab. Dengan nada yang aku buat-buat seolah aku baru bangun tidur, aku merespon pertanyaan mamaku.
aku tak enak hati jika tidak menjawab. Dengan nada yang aku buat-buat seolah aku baru bangun tidur, aku merespon pertanyaan mamaku.
“Ya ma. Reno sebentar lagi makan kok.”
Sekarang pukul 09.07. sekitar 7 jam lagi aku akan terbang dari bandara Juanda Surabaya. Ingin rasanya mengurungkan kepergianku. aku harus mencari Mansa. Tapi untuk apa? Kemana? Bagaimana kalau dia benar-benar sudah meninggal? Aku tak ingin lebih kecewa lagi nantinya.
###########
Sarapan pagi ini begitu istimewa. Nasi yang dilengkapi ayam panggang dengan lalapannya, ada nila bakar juga dan jus alpukat. Semua ini adalah makanan favoritku. Mamaku seolah menjadikan sarapan pagi ini sebagai acara perpisahan . tapi sayang aku tidak berselera. Aku masih memikirkan dimana Mansa berada.
Aku duduk dan diam saja. Mamaku heran dengan tingkahku yang tak menyentuh makanan favoritku sama sekali. Padahal akulah orang yang pertama yang mengambil makanan di setiap kami makan bersama dengan semangat.
“Reno, kamu kenapa, sayang? Dimakan dong. Mama susah-susah masakin buat kamu. Masa Cuma didiemin aja? Apa kamu gak suka?” Tanya beliau.
Aku diam sebentar. Aku mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang sedang terjadi kepada mamaku. Aku menghela nafas lalu berbicara.
“Reno masih kepikiran Mansa, ma. Reno takut kalo dia ternyata sudah meninggal. Sudah 3 bulan ini dia gak ngehubungi Reno.”
“Hush! Itu Cuma pikiranmu saja Reno. Mungkin dia memang lagi sedang sibuk dan gak bisa ngehubngi kamu. Kamu gak perlu sedih kaya gini. Lagian sebentar lagi kamu mau terbang ke turki kan sayang. Semangat dong. Lupain aja si Mansa.” Hibur mamaku.
“Ngelupain Mansa, ma? Gak bisa ma. Reno benar-benar khawatir dengan keadaan si Mansa. Reno berencana mau ngebatalin sekolah di Turki sekarang juga buat nyari dimana Mansa sekarang berada.” Balas aku dengan nada yang sedikit naik dari sebelumnya.
Mamaku terlihat terkejut mendengar pernyataanku yang ingin membatalkan sekolahku di Turki. Raut mukanya kini berubah serius dan sepertinya beliau begitu kecewa dan marah kepadaku.
“Kamu bodoh Reno! Untuk apa kamu pakai acara ngebatalin sekolah di Turki buat nyari Mansa? Kamu tau mama selama ini mengharapkan kamu. Mencoba ngerelain kamu untuk sekolah jauh-jauh. Sekarang dengan gampangnya kamu ingin ngebatalin semua ini. Mama kecewa Reno. Bukankah ini kemauanmu, cita-citamu?”
“Ini bukan kemauan Reno semata. Ini adalah cita-cita Reno dan Mansa yang kami buat bersama-sama. Kita berdua harus bersama-sama. Jika salah satu dari kami tidak bisa ke Turki, maka gak ada lagi sekolah di Turki. Reno sudah janji, ma!”
“Reno!!” teriak mamaku. Kali ini air matanya tak tertahan lagi.
“Maaf, ma. Memang terlalu berlebihan. Tapi itu sudah keputusan kami berdua. Mansa adalah sahabat Reno. Sahabat setelah semua sahabat-sahabat Reno pergi ninggalin Reno begitu saja karena mereka tahu bahwa Reno adalah mantan pencandu narkoba. Padahal waktu itu Reno ingin berubah, ingin sembuh. Mama masih ingat juga kan ketika Reno ingin bunuh diri karena Reno merasa gak ada lagi yang sayang sama Reno, gak ada lagi yang percaya sama Reno. Bahkan mama sekalipun yang kerjanya dulu hanya menangisi kematian papa dan gak peduli dengan keadaan Reno. Siapa yang menolong Reno saat itu? Siapa yang bawa Reno ke rumah sakit ketika Reno overdosis? Siapa yang setia menemani Reno dan selalu memberi semangat dan harapan selama Reno menjalani rehabilitasi. Dan siapa yang membuat mama mengerti dan sadar akan keadaan Reno pada waktu itu, ma? Siapa, ma? Mansa kan?!”
Mamaku jatuh duduk di kursi makan. Beliau menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sejarah lama yang tak seharusnya aku ungkit kembali kini terpaksa harus aku hadirkan. Aku tahu itu membuat mamaku menyesal. Tapi itu adalah kenyataannya. Karena sejarah itu juga aku tak bisa meninggalkan sahabatku, Mansa.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan jiwaku dan kembali menjelaskan semua yang perlu aku jelaskan kepada mamaku.
“Ma. Mama juga tahu kan bahwa Mansa sekarang sedang sakit. Leukimia, ma. Prosentase untuk sembuh sangat sedikit. Mansa dulu pernah bercerita ke Reno bahwa dia ingin bisa mewujudkan keinginan kami berdua sebelum dia meninggal. Itu yang buat Reno gak bisa ninggalin Mansa. Ini adalah satu-satunya cara Reno berterima kasih ke Mansa yang telah membantu merubah Reno jadi lebih baik. Apakah Reno pantas meninggalkan Mansa begitu saja jika keadaannya seperti ini, ma? lagian Apa Reno bisa bahagia di Turki sana kalau keadaan si Mansa belum jelas kaya gini?” jelas aku.
Kini giliranku yang menangis. Aku tak sanggup melanjutkan semua ini. Aku memikirkan tentang keadaan Mansa.
Suasana kini hening. Mamaku berhenti menangis. Mbok Iyem, pembantu mama yang semenjak tadi ada di dapur yang terletak tak jauh dari ruang makan kini minta pamit ke warung untuk membeli sesuatu. Aku beristighfar, mencoba meredakan amarahku. Aku lihat sekeliling ruangan dan berhenti pada foto keluaga yang terpajang di dinding. Papa, mama, saudara-saudara perempuanku dan aku. Aku merindukan masa itu. Seandainya papa masih hidup.
Mamaku lalu pergi menuju kamar. Sepertinya sedang mencari sesuatu. Tak lama kemudian beliau kembali dengan sebuah bingkisan yang terbungkus kertas berwarna biru dan sepucuk surat yang sepertinya sudah dibaca.
Mamaku menyerahkan bingkisan dan surat itu seraya berkata dengan suara parau karena menangis tadi,
“Reno. Maafkan mama. Selama ini mama merahasiakan sesuatu dari kamu. Bingkisan ini dan surat ini adalah pemberian Mansa. Namun Mansa tak mengijinkan mama untuk memberikan semua ini sebelum kamu lulus kuliah di Turki. Tapi mama pikir ini lebih baik untuk kamu tahu sekarang.”
Aku terkejut mendengarnya. Aku terima bingkisan itu. Tak besar. Seperti sebuah kotak berukuran dua puluh lima kali dua puluh sentimeter yang terbungkus rapi kertas kado berwarna biru. Namun aku tak membukannya. Aku terlalu takut untuk melihat isi dari bingkisan ini. Apalagi surat ini. Belum aku sempat membaca namun aku sudah meneteskan air mata. Membayangkan isi surat ini.
Aku keluarkan surat ini dari amplopnya. Aku buka kertas ini yang dilipat menjadi lebih kecil, sekecil amplopnya. Ini adalah surat dari Mansa. Aku tarik nafas dalam-dalam dan mulai membaca.
“Yth. Tante dan sahabatku, Reno
Assalamualaikum tante,
Pertama, Mansa mohon maaf karena 2 bulan belakangan ini Mansa tidak memberi kabar. Mansa minta maaf karena membuat tante dan Reno khawatir. Mansa selama ini sengaja tidak memberi kabar seiring keadaan kesehatan Mansa yang semakin tidak membaik. Mansa tidak ingin menyusahkan Reno dan Reno tahu keadaan Mansa sekarang.
Tante, Mansa minta agar tante tidak memberi tahu apapun kepada Reno tentang keadaan Mansa dan dimana Mansa sekarang sebelum Reno berhasil meraih cita-citanya untuk sekolah di Turki. Mansa minta agar tante membuat Reno tetap melanjutkan cita-cita Reno meski Mansa tidak bisa menemani Reno. Karena Mansa tidak yakin bisa bertahan lebih lama lagi tante apalagi dokter mengatakan umur Mansa kurang dari sebulan lagi. Dan apapun yang akan terjadi nanti, meskipun terburuk sekalipun keadaannya, Reno harus tetap berangkat ke Turki dan tetap melanjutkan cita-cita kami berdua.
Tante, Mansa gak ingin langkah Reno terhenti karena Mansa. Karena Reno adalah sahabat Mansa dan Mansa ingin sahabat Mansa mendapatkan yang terbaik, oleh karena itu tante terus dukung dan buat Reno berhasil meraih apa yang dia impikan. Untuk Mansa juga tante. Kebahagiaan Reno adalah kebahagiaan Mansa juga.
Cukup sekian tante. Mansa minta doanya juga.
Wassalamualaikum
Sahabat Reno, Mansa”
Aku tak bisa berkomentar. Kertas putih yang berisi pesan Mansa basah karena air mataku. Aku tak percaya dia mengatakan ini semua. Aku merasakan kesedihan yang mendalam. Penyesalan karena tak bisa di sampingnya. Lalu aku kemudian membuka bingkisan itu. Aku buka pelan-pelan.
Tak percaya aku melihatnya. Dalam kotak itu ternyata berisikan buku diary Mansa yang pernah dia tunjukkan kepadaku tapi tak pernah tahu apa isinya.
Air mataku semakin deras berjatuhan. Mamaku memelukku. Aku menangis dalam pelukannya. Dalam hati aku berdoa untuk Mansa.
Setelah tenang, aku kembali pada buku diary Mansa. Ternyata ada catatan kecil di dalamnya. Catatan itu adalah dari Mansa dengan tulisan tangannya sendiri.
“Sahabat sejati memang tak selalu bersama. Namun hati kita, kenangan kita selalu terikat kuat menjadi satu yang menyatukan tentang dirimu dan tentang diriku. Kebahagiaan sejati dirimu adalah kebahagiaan abadi bagi diriku. Selamanya kita bersahabat.”
Aku kembali menangis . namun Aku tersenyum dengan kata-katanya. Sahabatku memang selalu tegar dan selalu berhasil membuat aku tegar juga.
Aku buka halaman demi halaman. Aku baca buku diary Mansa namun tak semua.
Lalu aku mengambil air wudhu dan sholat dhuha. Aku berdoa untuk sahabatku, Mansa. Aku berdoa jika memang dia telah tiada, semoga kami dipertemukan kembali di Surga kelak.
Selesai sholat, aku mengumpulkan sisa-sisa semangatku untuk melanjutkan cita-citaku dan cita-cita Mansa juga. Aku pergi makan. Mamaku tersenyum melihat aku yang telah mengerti. Kami berbincang-bincang selama kami makan sarapan pagi yang sudah dingin itu.
Seiring semakin dekat dengan keberangkatanku, kerabat-kerabatku mulai berdatangan. Disusul adik dan kakak kandungku yang sedari tadi keluar rumah untuk membelikan aku bekal selama perjalanan nanti. Kami berfoto bersama. Bercanda tawa. Hingga akhirnya aku berpamitan kepada keluargaku karena mobil travel yang telah aku pesan telah datang. Satu-persatu aku pamiti dan terakhir adalah mamaku. Mamaku berpesan untuk menjaga diri baik-baik di sana. Tak ada yang tak menangis.
Sampai jumpa keluargaku.
Kurang lebih 2 jam perjalanan menuju ke bandara. Ketika sampai, aku urusi semuanya dari barang-barang hingga aku sampai di tempat pemberangkatan.
Selama menunggu pesawatku, aku buka kembali buku diary Mansa. aku baca kembali tulisan-tulisannya. Kenangan-kenangan bersama sahabatku itu hadir kembali. Memberikan semangat baru untukku. Namun, perasaan sedih memang masih ada. Namun aku tak ingin terlalu larut dalam kesedihan ini. Hidup ini masih terus berlanjut meski orang yang aku sayangi telah tiada, meski sahabatku sudah tak lagi ada di dunia ini. Mungkin seiring waktu berlalu aku bisa mengikhlaskannya. Semoga saja.
Ketika aku sedang hanyut dalam tulisan-tulisan yang tergores dalam diary Mansa, tiba-tiba seseorang membekapku dari belakang. Aku terkejut sekaligus takut. Jangan-jangan seorang teroris berhasil menyusup dan ingin menjadikanku sebagai sanderaan. Jantungku berdegup kencang. Aku mencoba melawan namun tak bisa.
Aku berkeringat dingin. Aku tak berani menoleh. Ingin berteriak namun aku sedang dibekap. Tapi mengapa orang-orang yang ada di sekitarku hanya diam saja dan tak peduli bahwa seorang yang begitu malang kini sedang dalam bahaya.
Lalu, dia mendekatkan kepalany dan berbisik di telingaku “Jangan berteriak. Sudah lama menunggu disini ya?”.
Aku terkejut dan langsung berbalik.
“MANSA!!!” aku berteriak.
“Dibilangin jangan teriak malah teriak.”
Aku terkejut dengan kehadiran Mansa disini. Aku merasa ini seperti mimpi saja. Dengan penuh penasaran dan antusias aku langsung bertanya pada dia.
“Bukannya kamu sudah mati? Gimana bisa kamu ada di sini?”
Mansa hanya tersenyum lalu menjawab pertanyaanku.
“Aku gak bilang aku sudah mati. Tapi hampir aja. Hehehehe. Aku sudah sembuh. Panjang juga ceritanya. However, This is such a miracle that Allah gives to me”. Dia tersenyum.
Aku tak percaya sahabatku Mansa ada disini. Ternyata dia juga akan menemaniku ke turki untuk mewujudkan cita-cita kami bersama.
Aku menunduk. Aku masih tak percaya saja dia ada di sini.
“Sorry bro udah bikin kamu khawatir. Tapi aku janji aku pasti ceritain semuanya ke kamu.” Hibur dia.
Dia mengusap rambutku dan memelukku. Lalu, aku memberikan satu tamparan yang cukup keras sebagai balasan selama ini membuat aku khawatir. Namun, Mansa hanya tersenyum kesakitan dan mengusap pipinya yang baru aku tampar.
Perjalanan ini semakin terasa lengkap. Aku semakin bersemangat dengan hadirnya sahabatku, Mansa Ahad. Aku lihat ke jendela luar sana. Langit begitu cerah. Aku tersenyum mengamatinya. Seolah alam juga ikut merasakan senang. Thank you Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar